Saturday, February 04, 2006

JOE's Best 10 of 2005

Overview:
Tahun 2005 adalah tahun yang menyakitkan. Harga kebutuhan pokok yang naik gila-gilaan, benar-benar bikin otak kanan dan kiri sulit bekerja sebagaimana mestinya. Ditambah maraknya bencana alam dan bombardir berita tentang teroris, semakin memusingkan benda di bawah tempurung kepala ini. At least for me… Anyway, enough about that bullshit!
Melewati 2005 sedikit melegakan bagi saya. Kenapa? Well, selain alasan di atas, tahun lalu menyisakan begitu banyak film buruk bikinan Hollywood. Puluhan film dibuat seolah-olah mengesampingkan intelegensi penonton. Entah ceritanya yang bikin muak atau endingnya yang asal-asalan. Beberapa film bahkan dikerjakan jelas-jelas hanya untuk mengeruk dollar tanpa mengindahkan kualitas filmnya. Hal itu diperparah dengan hasil box office 2005 yang terburuk dalam 10 tahun terakhir. What A good fuckin year..eh!
Satu lagi yang patut dicatat adalah semakin langkanya ide orisinal yang dihasilkan. Buktinya, semakin menjamurnya remake atau adaptasi novel-game-tv-komik yang dibuat. Saya baru menyadari bahwa Holywood sedang diambang stagnasi atau kalau boleh sedikit radikal: Kehancuran!
Tapi tunggu dulu, setiap masalah pasti ada hikmahnya. Right? Palingkan radar film Anda ke daratan Korea. Perkembangan perfilman di sana tahun lalu merupakan yang tersignifikan dalam 20 tahun terakhir. Tidak hanya dari segi kuantitas atau kualitas, perolehan box officenya pun juga menunjukkan grafik yang sangat mengagumkan. Sekedar catatan, tahun 2004 lalu OLDBOY dan TAEGUKGI yang merupakan film Korea, masuk dalam daftar 10 film terbaik saya dan beberapa situs film asing. Satu bukti bahwa mereka (baca: Korea) berhasil memberikan pencerahan alternatif disaat Hollywood dinaungi mendung kelam perfilman.
Kembali ke pokok tulisan. Daftar di bawah ini bisa berubah mengingat ada beberapa film kontender Oscar yang belum saya tonton. Seperti: Munich, Walk the Line, Brokeback Mountain atau Good Night and Good Luck. Jadi ada kemungkinan perubahan pada saatnya. Well, here’s the list:

================
JOE’s Best 10 of 2005
================

10. The Island
Lupakan domestik box officenya yang super jeblok. Sejak Pearl Harbor, publik amerika memang sedikit anti dengan karya-karya Michael Bay. Tapi percayalah, ini adalah film terbaiknya. Benar-benar sebuah rollercoaster action packed! Penggambaran dunia masa depan yang tidak sempurna sangat mengesankan. Sensasinya seperti menonton film sci-fi buatan Spielberg, artistik tapi dengan adegan aksi yang ‘seksi’ khas Bay. This is a perfect summer popcorn movie. And eh… Scarlett Johanson is HOT!

======================================================

09. War of the World
Satu hal yang harus ditanamkan ketika menonton film karya Spielberg adalah: Kesederhanaan. Pada karya terbarunya ini, tema yang ‘berat’ kembali berhasil dia hadirkan dengan nuansa humanis dan penuh filosofi. Kualitasnya memang sedikit ‘di bawah standar’ film sci-fi buatannya. Namun, di tengah maraknya film fiksi yang menghamburkan efek tapi miskin cerita (sorry Mr Lucas!), War of the World berdiri tegar dengan kesederhanaannya.

======================================================

08. Corpse Bride/Wallace and Gromit (tie)
Ada satu hal kecil yang menyenangkan ketika dua film tersebut masuk daftar. Yaitu, fakta bahwa Pixar tidak mengeluarkan film di tahun 2005, gagal dimanfaatkan oleh seteru sejatinya, Dreamworks dalam meraih best animated film. Madagascar dan Sharktale karya mereka, tidak hanya dicaci kritikus, namun dengan diakuinya karya dua studio lain yang notabene bukan ‘pemain’ animasi murni semakin menohok muka Dreamworks. Sekali lagi cerita, cerita dan cerita yang penonton butuhkan. Corpse dan Wallace tidak hanya memberikannya, namun teknik claymation yang dilakukannya memberikan penyegaran kreatifitas di saat sang maestro, Pixar absen tahun 2005 lalu. A good replacement indeed!

======================================================

07. A Bittersweet Life
What the F*ck..They did it again!!! Korea lagi-lagi punya film bagus. Sebuah cerita balas dendam dengan semangat ala Kill Bill. Menghentak sekaligus menyadarkan, betapa kangennya saya dengan adegan aksi tanpa spesial efek berlebih yang biasa dihadirkan di film action tahun 80-90an. A Bittersweet Life adalah contoh konkret betapa Korea tahu film mana yang perlu diekspor ke Amerika (learn that Stephen Chow!). And this one is a perfect ONE!

======================================================

06. 40 Years Old Virgin/Wedding Crashers (tie)
Dua komedi inilah yang berhasil mengembalikan dasar-dasar komedi R-Rate yang sesungguhnya. Setelah bertahun-tahun disuguhi komedi jorok ala American Pie, tahun 2005 ternyata memunculkan kembali elemen lama: persahabatan, romantisme, drama dan karakter yang sedikit ‘aneh’ pada 40 years dan Wedding. Elemen yang sulit disajikan dengan baik pada film-film komedi belakangan. Dengan cast yang meyakinkan, those were definitely the best comedy of the year. Hail!

======================================================

05. Harry Potter and the Goblet of Fire
Inilah film ‘seri’ yang tidak kendor-kendor kualitasnya. Pemilihan sutradara yang tepat adalah kuncinya. Di seri keempat penyihir kecil yang low profile ini, penonton disuguhi serangkaian adegan aksi yang memikat. Dengan pendalaman karakter, termasuk romansa pada karakter utamanya, serta jalan cerita yang semakin rumit dan gelap, Goblet of Fire patut ditasbihkan sebagai yang terbaik dari Harry Potter series. Bring me my broomstick honey…

======================================================

04. The Descent
(note: sorry jika Anda belum menontonnya. Film horor indie buatan Inggris ini memang tidak diputar luas di Amerika dan Indonesia)
Wow! Berapa seringkah Anda ketakutan ketika nonton film horor? For me... Not in a past couple years! Yah, beberapa tahun belakangan, saya seperti kesulitan menemukan film horor yang benar-benar memuaskan dahaga adrenalin di otak. Some said, hal tersebut karena ekspektasi yang terlalu berlebihan. But hey… who cares!
Ternyata, Perasaan ‘menyenangkan’ itu kembali muncul ketika menonton The Descents. Gabungan claustrophobia, takut akan kegelapan dan miris disajikan Neil Marshall dalam top formnya. Fully Gore but No nudity! A truly Horror Classic! Go See it…. NOW!

======================================================

03. King Kong
Apa jadinya jika Peter Jackson menyutradarai film yang difantasikannya sejak kecil. Hasilnya adalah King Kong. Remake yang tidak hanya melebihi kualitas pendahulunya, tapi juga semakin mengukuhkan Jackson sebagai master dalam menggarap film fantasi. Sebuah karya epik yang spektakuler dari segala aspek. Ending dari kisah cinta aneh monyet dan manusia ini dijamin membuat preman pun menangis. Tonton dan buktikan!

======================================================

02. Crash
Saya menyebutnya: Filmnya aktor kelas B.
Mereka menyebutnya: Film terpenting tahun ini.
Mengapa demikian? Lihat saja deretan castnya. Siapa yang ingat Matt Dillon, Don Cheadle, Sandra Bullock, Brendan Fraser, Ryan Phillpe atau Ludacris. Hello… Who gives a shit with them? Saya bahkan lupa kalau Sandra Bullock itu bisa akting. Atau Ryan ‘Mr Reese Whiterspoon’ Phillipe adalah seorang aktor. Man… They were so yesterday! Cmon… masih banyak aktor-aktris keren lain di Hollywood… Dari situ saja asumsi kita pasti ‘thumb down’ pada film ini. BIG WRONG!!
Di tangan Paul Haggis, penulis naskah Million Dollar Baby, Crash menggeram, menggenggam dan menghempaskan benak kita pada satu kata: AMAZING!
Tema rasis yang diusungnya, seakan memberondong pikiran kita bahwa Amerika, negara yang katanya paling demokratis dan anti rasialis itu ternyata Non sense! Serentetan kejadian yang digulirkan sejak awal menggambarkan betapa masyarakat sana masih rawan dengan isu seperti itu. Film yang dipastikan tidak sukses di luar Amerika terutama Asia karena tema rasisnya ini patut disandingkan dengan American History X.
Pertanyaannya adalah, apakah sebuah film bisa mengubah sebuah sistem yang telah ada? Mungkin tidak. Tapi setidaknya bisa dijadikan pencerahan, karena mereka pasti masih akan memperbincangkannya beberapa tahun ke depan. Film terpenting tahun ini? It’s more than that!

======================================================

01

Sulit menterjemahkan secara visual apa yang ada di benak Frank Miller dan komik Sin Citynya. Tapi Robert Rodriguez tidak saja memvisualisasikan tapi sekaligus memfilmkan komiknya 99%. Nuansa noir, monokrom dengan sapuan warna dibeberapa bagian layar, menjadikan Sin City seenak membaca komiknya. Bagi penggemarnya, hal tersebut seperti mimpi yang jadi kenyataan.

Bagi saya, inilah pemberontakan ala Rodriguez terhadap sistem di hollywood: Tanpa Aturan. Hal yang sama pernah dilakukan tandem sejatinya, Quentin Tarantino ketika menampar muka dunia dengan PULP FICTIONnya di tahun 1994 dulu.
It’s Pure, Cool, Creative, Sexy, Original, Unique, Mickey Rourke and the most entertaining movie of 2005. It’s REBELLIOUS and A CLASSIC!

Cheers!

- joe -

Tuesday, December 20, 2005

King Kong :: review


King Kong (2005)
Cast: Naomi Watts, Adrien Brody, King Kong
Director: Peter Jackson


Overview:
Saya sedikit lupa kapan terakhir menyaksikan puluhan penonton melongo dan berteriak sepanjang menonton sebuah film di dalam bioskop. Well, hal itu terjadi lagi ketika Saya menonton King Kong.
Biar Saya jelaskan dulu, dari semua film-film klasik yang pernah ada, King Kong adalah salah satu karya monumental yang ‘wajib’ dibuat versi modernnya. Sosoknya yang sangat iconic, perlu mendapatkan sentuhan teknologi komputerisasi. Pembuatan versi modern gorila raksasa itu semakin kuat setelah remakenya pada tahun 70an sangat mengecewakan. Dalam hal ini, Saya tidak pernah membayangkan sosok lain yang pas untuk menghidupkannya lagi selain Peter Jackson. And Damn!… Dia berhasil.

Review:
Tidak seperti War of the World-nya Spielberg yang notabene juga remake film aksi fiksi era 50an, Jackson masih mengusung romantisme serta nuansa yang sama dengan versi aslinya, bedanya… Kong 2005 jauh lebih baik. Aroma Oscar untuk desain artistik sudah tercium dari awal! Suasana New York era great depression tahun 30an dengan kesenjangan sosialnya terekam dengan jelas. Belum lagi Skull Island yang mengingatkan pada The Two Towers dengan Forbidden Forestnya. Disain lokasinya… edan! Membuat Isla Sorna, pulau di Jurassic Park seakan seperti taman bermain. It’s so wild and yet beautiful! Background pemandangan dan langitnya seperti sebuah lukisan. Believe it! Membuat film berdurasi 3 jam ini menyenangkan ditonton. WETA studio sekali lagi naik satu strip untuk urusan visual stylish.
Bicara action, King Kong bukan tandingannya tahun ini. Film ini punya segalanya. Dari perang brutal para kru Kapal Venture dengan penduduk pribumi pulau tengkorak, pertarungan melawan makhluk-makhluk prasejarah, hingga duel ‘sangar’ Kong dengan dinosaurus yang Saya yakin menghabiskan puluhan juta dolar untuk membuat FXnya. Dengan itu saja sudah membuat film ini sebagai yang terspektakuler tahun ini! But hey masih ada pertarungan di tengah kota New York hingga final battle di Empire State sekaligus menghadirkan ending yang mengharukan di puncaknya. Benar-benar sebuah Rollercoaster RIDE! Beberapa scene memang masih terlihat FX yang kasar, namun hal tersebut tertutupi berkat cast yang bermain lepas.
Jack Black yang biasanya menjengkelkan, harus diakui ini adalah peran terbaiknya. Saya sempat membayangkan adanya komedi dengan memasangnya untuk berperan sebagai sutradara eksentrik, Carl Denham. Ternyata dugaan Saya salah… dan benar. Salah karena ternyata Black bermain sangat serius dan dingin. Pas sekali dengan karakter pemberontak Denham. Dan Benar karena memang terdapat scene lucu, tapi ditampilkan oleh… Kong sendiri! And it works well!!
Naomi Watts memerankan Ann Darrow dengan sangat sempurna. Jauh melebihi akting Fay Wray di versi aslinya. Hubungan batinnya dengan Kong terpancar sangat lugas dan natural. Sebuah permainan akting yang luar biasa, mengingat dia harus berakting sendiri karena Kong adalah kreasi CGI dengan motion capture (Another great job by Andy ‘Gollum’ Serkis).
As well as Adrien Brody yang seperti biasa bermain bagus sebagai Jack Driscoll. Love interest Ann Darrow yang juga seorang penulis cerita film.

Final Analysist:
Secara teknis, King Kong adalah film spektakuler di segala aspek. Peter Jackson harus diakui berhasil memadukan sisi lain romansa manusia dan hewan dengan serangkaian aksi yang sanggup melekatkan pantat penonton selama 3 jam untuk menontonnya, sekaligus terhibur. Sebuah pencapaian impresif dari seseorang yang dulunya adalah sutradara horror kelas B. Untuk filmnya, beban yang disandang King Kong sebagai sebuah remake mungkin tidak membawanya ke level masterpiece, but without a doubt inilah film terbaik tahun ini. Cheers…


Rating:
8.5 out of 10


- joe -

Saturday, December 10, 2005

Harry Potter and the Goblet of Fire :: review




Overview:
Saya sempat berfikir, Apa yang dimaui produser dengan merekrut Alfonzo Cuaron untuk menggarap Prisoner of Azkaban. Seorang sutradara indie dengan resume yang sama sekali beda dengan genre yang diusung Potter ini. Well, jawabannya telah saya temukan setelah menonton seri keempatnya, Goblet of Fire, yang disutradarai oleh Mike Newel, seorang sutradara ‘spesialis’ drama komedi romantis. Lagi-lagi sebuah pilihan yang sedikit nyeleneh. By that time, Saya jadi berfikir pasti ada sesuatu dibaliknya. Something genius! Hey, ini adalah bisnis ratusan juta dolar! Tidak ada main-main disini. Well, ternyata dugaan Saya benar! (at least menurut saya).
Notice! Saya tidak pernah baca novel atau sinopsisnya. Jadi there’s no expectation apa yang akan ada di seri selanjutnya.
Prisoner of Azkaban, adalah yang tergelap dari seri-seri Potter yang difilmkan. Tidak hanya nuansanya saja, tapi jalinan ceritanya sangat rumit dengan ‘tikungan-tikungan’ yang sangat cerdas. Saya tidak yakin jika Chris Colombus bisa menyajikan segelap bukunya jika dia masih meneruskan di kursi sutradara. Itu segi ceritanya saja, dari deretan pemain utamanya pun diperlukan special treatment sehingga penonton pun fine-fine saja dengan kondisi tubuh mereka yang semakin remaja.
Diperlukan seseorang sutradara yang independent, dengan reputasi yang kontroversial plus sedang ‘hangat-hangatnya’. Pemilihan Cuaron ternyata tepat. Tidak hanya dari segi perolehan box office saja, tapi Azkaban disebut-sebut sebagai film terbaik dari franchise Harry Potter. Itu sebelum muncul Goblet of Fire.

Review:
Goblet dibuka dengan kekacauan di piala dunia Quidditch yang megah (too bad it’s too short). Cerita kemudian berkembang. Mulai dari turnamen Triwizard hingga munculnya “you know who” digulirkan dengan cepat namun masih terasa smooth. Hal yang jarang ada di film hasil adaptasi buku. Namun, dari situ sudah ketahuan bahwa banyak bagian dari bukunya yang dipotong. To me, It’s Ok! Bukunya yang setebal kamus tidak mungkin ditransfer ke pita seluloid selama 3 jam saja. Tapi dijamin, rangkaiannya sangat rapi dan menyenangkan. Ya, ternyata pemilihan Newel sangat tepat. Karena di Goblet banyak adegan romantis, drama dan yang jarang ada di seri sebelumnya, humor.
Di seri keempat ini, Newel juga lebih menekankan studi karakter seperti film-film karyanya yang lain. Dia berhasil ‘menaikkan derajat’ Dumbledore yang biasanya digambarkan malas-malasan, kini semakin lincah. Begitu juga Longbottom yang mendapat porsi lebih disini.
Bicara aspek epik, Goblet harus diakui hampir menyamai level Lord of the Rings. Spesial FX digarap dengan sangat bagus, meski di beberapa scene ada kemiripan dengan LOTR. Mengingat ceritanya yang sama-sama gelap dan 'murung', film ini ternyata lebih berkesan ketimbang Azkaban.

Final Analysist:
Sorry to say, tapi jelas Goblet of Fire adalah seri terbaik dari Harry Potter series. Atau mungkin one of the year's best! Sebuah mixture dari berbagai genre. Drama, komedi, epic, sedikit horor dan yang paling mengagumkan, ini adalah seri keempat dari sebuah franchise. Sebuah hasil diatas rata-rata dari sebuah film adaptasi buku. Salut pada produser David Heyman. Pemilihan sutradara yang cermat membuat franchise ini semakin menarik untuk dinikmati. Cheers!!
My advice: “You want story: Read the books! You need an action: SEE THE MOVIE”

rating: 8 out of 10

- JR -

Saturday, November 12, 2005

Mr & Mrs Smith :: review



Mr & Mr Smith (2005)
Cast: Brad Pitt, Angelina Jolie
Director: Doug Liman

Overview:
John dan Jane Smith adalah pasangan yang tampaknya serasi. Mereka tinggal di sebuah pemukiman elit yang tenang. Seperti keluarga lain, mereka tak pernah absen diner bersama, kissed farewells serta ngomongin warna tirai yang cocok untuk rumah mereka. Seems like a happy family.. Tapi dibalik itu, ternyata keduanya adalah pembunuh bayaran paling disegani di dunia persilatan (ceile..). Keduanya bekerja pada perusahaan yang beda bahkan perusahaan mereka selalu bersaing satu sama lain. Uniknya, masing-masing dari mereka tidak tahu menahu pekerjaan yang sebenarnya dari pasangan tidurnya. Hingga sebuah assignment mempertemukan keduanya dan mengharuskan mereka memilih: Saling bunuh atau menyelamatkan perkawinan mereka?

Review:
Film tentang pembunuh bayaran ternyata memiliki tempat sendiri di hati penonton. Terbukti dengan bermunculannya film dengan tema seperti ini beberapa tahun belakangan. Dari yang hebat (Leon) yang cukup bagus (Nikita, Grosse Point Blank dan Collateral) serta yang ancur abis (Assassins-nya Stallone). Kini, hollywood menawarkan Mr & Mrs Smith. Sebuah kisah keluarga pembunuh bayaran yang sama sekali beda dengan deretan film dari genre tersebut.
Yang membedakannya, balutan action (yang selalu mengiringi film bertema seperti ini) seakan lebur dengan bagusnya jalinan drama romantis serta selentingan komedi segar yang dibangun kedua pemeran utamanya.
Pujian patut disematkan pada Pitt dan Jolie. Meski bisa dibilang Pitt menurunkan standarnya dengan bermain di genre action daripada main serius (Fight Club, Twelve Monkeys, Se7en anyone?), hal ini tidak jadi masalah. Dia masih merupakan aktor yang paling bisa membawa dirinya di berbagai peran. Begitu juga Jolie. Saya tidak yakin Nicole Kidman (yang sebelumnya adalah pilihan utama karakter Jane Smith) bisa melakukan peran ini lebih baik. Perpaduan kecantikan dan keperkasaan sudah pernah dia tunjukkan lewat Tomb Raider. Which works!! At least for me... Di luar gosip yang beredar ketika syuting (Mereka pacaran nggak sih?), keduanya bermain sangat lepas dan ‘nyambung’. Suasana kikuk akibat saling merahasiakan identitas masing-masing, tergambar dengan lugas. Sebuah sindiran halus terhadap institusi pernikahan di masa sekarang yang sudah terkikis ‘kesakralannya’. Penuh kebohongan dan kepura-puraan.
Jangan lupakan juga Vince Vaughn. Meski perannya minim, still.. he’s one of my favourite actor.
Di bangku sutradara, saya tak meragukan kredibilitas Doug Liman. Sineas yang menelurkan Bourne Identity, Go dan Swingers ini kembali menghadirkan alur yang sangat ‘dinamis’ dengan beberapa kali adegan maju mundur. Hal ini sebenarnya berpotensi menaik-turunkan tensi penonton. Begitu juga dramalurgi antara kedua karakter yang bisa menghilangkan mood penggemar film action. But thankfully, Mr Smith dikemas dengan balutan komedi yang fresh hampir di setiap scene-scene di atas. Membuat perasaan FUN sepanjang durasi bergulir.
Bukan sesuatu yang menggelegar, baru dan wah!! namun untuk adegan aksi, Liman masih menyuguhkan sederet eye candy action scenes yang menarik. Mulai dari kejar-kejaran mobil, adu tembak, bahkan hand to hand fight antara Pitt dan Jolie dikemas dengan apik olehnya. Damn.. loved that fight!

Overall:
Mr & Mrs Smith adalah film yang menyegarkan… untuk genrenya. Perpaduan komedi, drama dan actionnya merupakan hal baru dan berhasil dikemas apik (Pernahkah Anda membayangkan Brad Pitt menyanyikan “Making Love Out of nothing at all”-nya Air Supply?). Jangan terlalu pusing dengan scriptnya yang buruk, bagi Anda fans Brad Pitt dan Angelina Jolie dijamin akan terpuaskan melototi mereka. Wajah mereka berdua bergantian menguasai almost entire of the film. One minor thing: Doug Liman sepertinya bingung menghadirkan ending yang memuaskan banyak pihak termasuk saya. Jadinya menggantung.. Too bad! Tapi yang jelas untuk urusan adegan action, Liman masih masternya. Cheers…

Rating 7 out of 10

- joe -

Tuesday, November 08, 2005

War of the World :: review

War of the World (2005)
Cast: Tom Cruise, Dakota Fanning, Tim Robbins
Director: Steven Spielberg



Story:
Film ini mengambil sudut pandang dari seorang Ray Ferrer (Tom Cruise), pekerja kasar di pelabuhan yang hidupnya tidak begitu teratur. Dia dan penduduk kotanya menyaksikan kemunculan alien yang akan menghancurkan bumi. Maka mulailah perjuangannya untuk menyelamatkan orang-orang yang dicintainya. Berhasilkah? Dan bagaimana cara menghancurkan alien-alien yang muncul di seluruh belahan dunia? Well, looks like a simple plot, eh?

Review:
Lupakan kekecewaan Anda setelah menonton The Terminal. Kini, Spielberg kembali ke akarnya. Setidaknya tema Alien yang diusung untuk film tergresnya ini bukanlah sesuatu yang baru baginya. Saya masih teringat betapa megahnya desain pesawat alien di Close Encounter of the Third Kind, atau terharu melihat chemistry yang luar biasa antara alien dengan manusia dalam E.T.
Abaikan juga predikat ‘remake’ yang disandang, karena jauh hari Spielberg sudah menjanjikan bahwa filmnya ini bukan mutlak remake film tahun 50an berjudul sama.
Film ini memiliki kedalaman cerita, penyutradaraan yang mantap serta akting yang patut diacungi jempol (terutama Cruise dan Fanning). Dan yang paling menakjubkan, dengan tema yang ‘berat’ seperti itu, Spielberg menyajikannya secara humanis dan penuh kesederhanaan.
Tidak akan ditemui aksi heroik yang tak masuk akal seperti dalam Independence Day. Bahkan ketika aliennya muncul, kamera selalu dishoot menjauh. Seakan-akan menunjukkan ketakutan yang pasti kita alami jika hal seperti itu benar terjadi. Spielberg juga tidak menghadirkan scene dialog bertele-tele, karena bodoh jika kita melakukannya saat perang melawan alien. Untuk yang satu ini, David Koepp (penulis naskah) tahu betul apa yang dimau sang sutradara dan penonton.
Dari sisi pemain utama, siapa yang tak mengenal Tom Cruise. Aktor yang paling suka menghabiskan space poster hanya untuk menampilkan wajahnya saja ini mendominasi layar sepanjang film. Chemistrynya dengan Fanning juga sempurna, as father and daughter yang kurang begitu akur. Tim Robbis juga tak mau kalah memberikan performa yang prima meski tampil hanya sebentar saja.
Satu hal yang mungkin bagi sebagian orang mengganjal adalah endingnya. Yah.. for me... Fuck 'em... They dont know shit about it!. Pesan moral lebih ditawarkan film ini selain adegan perang yang tak masuk akal di bagian endingnya: DARI SEGALA SUMBER KEKUATAN DI DUNIA INI, THE POWER OF NATURE SELALU DI ATASNYA.

Overal:
Inilah karya dari sutradara yang memiliki curiculum vitae di bidang penyutradaraan paling mengkilap dalam sejarah umat manusia. Lagi-lagi, sebuah film bertema ‘berat’ berhasil dia hadirkan dengan nuansa humanis dan penuh filosofi. Bagi sebagian orang yang mengharapkan konklusi hiperbola mungkin akan kecewa dengan endingnya. Namun sekali-lagi, this movie is about a simplicity. Bukan film terbaiknya Spielberg, tapi definitely he is BACK...

Rating 7.5 out of 10
- joe -

Monday, November 07, 2005

The Machinist :: review



The Machinist (2004)
Cast: Christian Bale
Director: Brad Anderson


Overview:
Seberapa besarkah totalitas seorang aktor dihargai dalam ajang Oscar? Well, nggak ada jawaban yang pasti. Tapi yang jelas, di tahun 2004, AMPAS membuat kesalahan besar dengan tidak memasukkan nama Christian Bale untuk nominasi aktor terbaik atas perannya dalam film ini.
Bale berperan sebagai Trevor Reznick, seorang pekerja kasar di pabrik besi yang telah mengalami insomnia selama setahun. Trevor bukannya tidak ingin tidur, tapi ketika hendak tertidur dia selalu terbangun oleh sesuatu hal.
Untuk melewati malamnya, dia habiskan dengan membaca, mengencani WTS lokal (Jennifer Jason Leigh) serta mengunjungi coffee shop di sebuah airport. Di situ dia selalu ditemani oleh waitress cantik (diperankan dengan sangat bagus oleh Aitana Sanchez) yang merupakan karakter kunci dari teka teki dalam film ini. Hari-harinya yang membosankan mendadak berubah setelah beberapa kejadian membingungkan dialaminya. Mulai pertemuannya dengan lelaki aneh bernama Ivan, munculnya tulisan di lemari es di rumahnya serta kecelakaan di tempat kerjanya. Trevor mulai merasa paranoid dan mengira ada konspirasi jahat yang akan menjebak dirinya. Apakah semua itu sengaja untuk menjebak dirinya ataukah ada hal di luar nalar yang sedang dialaminya?

Review:
Di luar aktingnya yang solid (as always), untuk menghidupkan sosok yang tidak tidur selama setahun, Bale menurunkan berat badannya hingga 60 pounds (!). Tidak akan dijumpai tubuh atletisnya seperti dalam American Psycho ataupun Batman Begins. Tubuhnya seolah hanya dibungkus tulang saja. Terus terang saja, saya tidak pernah menemukan seorang aktor yang berkorban sedemikian besarnya untuk sebuah peran. Bahkan Robert DeNiro sekalipun. Apakah hal ini perlu? Well.. untuk karakter ini: YA!!. Trust me... Saya pernah mengalami insomnia. Berat badan turun drastis... and i feel weird!
Untuk penyutradaraan, Brad Anderson menghadirkannya dengan sangat pekat... dalam arti sebenarnya. Selama film, kita seolah-olah sedang menyaksikan sebuah film horor. Seperti pada filmnya terdahulu, Session 9, Brad berhasil membuat suasana yang moody, tone warna yang dingin dan alur yang sulit tertebak. Penonton akan dibuat bertanya-tanya dari awal hingga ending yang bakal menjelaskan semuanya.
Acungan jempol buat penulis Scott Kosar. Ternyata dia bukan penulis spesialis remake saja (Texas Chainsaw, Amytiville Horror). Dialog-dialognya yang minimalis, pas sekali dengan mood film ini. Keep the audience guessing! Masih belum cukup, balutan musik yang old fashioned seakan-akan membawa kita pada suasana film suspens tahun 50an, yet spooky indeed.

Overal:
The Machinist berhasil dalam menggabungkan gaya film noir tahun 50an dengan sentuhan industrialis tahun 90an. Sebuah mixing surealis antara kenyataan dan mimpi yang bisa jadi tanpa kita sadari berjalan berdampingan. Sekali lagi, Christian Bale menunjukkan performa yang sangat prima. Did i mention “as always”?


Rating: 8 out of 10

- joe -

Wednesday, May 25, 2005

Epsiode III-Revenge of the Sith : review

The Circle is Complete

Setelah seolah-olah ingin menyaingi adegan mesra film-film Bollywood pada Episode II (Remember, adegan Anakin berkejar-kejaran bergulingan mesra dengan Amidala di padang rumput Tatooine .... yaiiikkssss), bersiap-siaplah menonton 'Star Wars' di awal film.

I mean it's really 'Perang Bintang' dalam arti harfiah. Misi penyelamatan Konselor Palpatine yang diletakkan di awal-awal film benar-benar disajikan dalam skala yang megah. Kalo boleh ngomong, adegan perang tersebut hanya bisa dikalahin oleh Lord of the Rings.

Satu lagi, setelah perang di es, di hutan, di padang pasir dan di luar angkasa, pada episode III ini penonton diajak menyaksikan perang Droids melawan bangsa Wookies.... di pantai. Damn, It's something new!

Pertarungan dengan lightsaber juga semakin banyak. And i am glad, Palpatine akhirnya main Lightsaber... COOL. Final fight antara Anakin melawan Obi-wan di Mustafar benar-benar panjang. Dengan background gunung berapinya, dramatik. Tapi lagi-lagi, koreografinya masih kalah bagus oleh tarung lightsabernya Gon-Jinn & Obi Wan VS Darth Maul. Mungkin Lucas perlu menyewa Yuen Woo Ping (Matrix's martial art coreographer), kalo soal adegan combat (kidding!).

Soal penampilan Lord Vader? Thumbs down. Kurang puas aja ngeliatnya. Meski semua penonton tepuk tangan (termasuk saya), tapi entah kenapa The Rise of Lord Vader kurang dibikin 'Sangar' oleh tim artistik. So flat. Padahal, saya sangat mengharapkan sememorable adegan “Luke, i am your father”.

Dari segi cerita saya tak mau banyak ngomong, karena bisa jadi plot yang ada adalah spoiler berat bagi yang belum nonton episode IV. Tapi percayalah, hampir semua pertanyaan yang muncul di semua episode, terutama episode IV sampai VI terjawab sudah.

Hanya beberapa hal kecil yang masih menggantung di benak. Masa sih di galaxy far far away yang sudah mampu membuat robot dan pesawat luar angkasa secanggih itu, angka kematian ibu melahirkan tidak bisa ditekan menjadi nol? Apakah mereka tidak mengenal teknologi 'kuno' bernama Bedah Caesar, yang harus dilakukan jika ternyata proses persalinan normal dianggap akan membahayakan nyawa ibu dan atau bayi yang akan dilahirkannya?

Juga, kenapa di Return of the Jedi, Leia bilang ibunya meninggal waktu dia kecil. Dia juga ingat wajah cantiknya (lho?). Padahal Padme meninggal waktu melahirkan Luke & Leia.

Dan apa alasan Yoda memilih sembunyi ke Dagobah system tidak dijelaskan.

But, hey... there's always a hole Right? That's why i'm here...


P e m a i n :
Akting Hayden Christensen cukup bagus. Creepy tapi kadang-kadang tampak fragile. Mengingatkan saya pada akting DeNiro dalam Taxi Driver. Natalie Portman juga sedikit lebih bagus dari 2 episode lalu, meski masih jauh dari akting kualitas Oscarnya di Closer. Sayangnya, entah kenapa adegan romance antara Anakin dan Amidala tetap masih kurang chemistry-nya. Satu lagi bukti bahwa George Lucas memang bukan expert soal love story. Sorry Mr....

Hubungan Obi-wan dengan Anakin juga terbentuk dengan baik. Hal inilah yang tidak saya temui di episode II. Karakter General Grevious juga sangat mengesankan diantara droids-droids yang bodoh itu. Aksen batuk-batuknya benar-benar baru dalam konteks dunia robot. Yes, these droid's got TBC!!

SO, as for me, sebagai fans Star Wars sejak lama, cukup terpuaskan, mengingat dua episode sebelumnya dikecewain berat. At least semua pertanyaan-pertanyaan mendasar di episode IV sampai VI terjawab. Not A Classic (Empire Strike Back is a classic, anyway) tapi tetap salah satu film terbaik tahun ini.

Rating: 7 out of 10


JR