Saturday, December 10, 2005

Harry Potter and the Goblet of Fire :: review




Overview:
Saya sempat berfikir, Apa yang dimaui produser dengan merekrut Alfonzo Cuaron untuk menggarap Prisoner of Azkaban. Seorang sutradara indie dengan resume yang sama sekali beda dengan genre yang diusung Potter ini. Well, jawabannya telah saya temukan setelah menonton seri keempatnya, Goblet of Fire, yang disutradarai oleh Mike Newel, seorang sutradara ‘spesialis’ drama komedi romantis. Lagi-lagi sebuah pilihan yang sedikit nyeleneh. By that time, Saya jadi berfikir pasti ada sesuatu dibaliknya. Something genius! Hey, ini adalah bisnis ratusan juta dolar! Tidak ada main-main disini. Well, ternyata dugaan Saya benar! (at least menurut saya).
Notice! Saya tidak pernah baca novel atau sinopsisnya. Jadi there’s no expectation apa yang akan ada di seri selanjutnya.
Prisoner of Azkaban, adalah yang tergelap dari seri-seri Potter yang difilmkan. Tidak hanya nuansanya saja, tapi jalinan ceritanya sangat rumit dengan ‘tikungan-tikungan’ yang sangat cerdas. Saya tidak yakin jika Chris Colombus bisa menyajikan segelap bukunya jika dia masih meneruskan di kursi sutradara. Itu segi ceritanya saja, dari deretan pemain utamanya pun diperlukan special treatment sehingga penonton pun fine-fine saja dengan kondisi tubuh mereka yang semakin remaja.
Diperlukan seseorang sutradara yang independent, dengan reputasi yang kontroversial plus sedang ‘hangat-hangatnya’. Pemilihan Cuaron ternyata tepat. Tidak hanya dari segi perolehan box office saja, tapi Azkaban disebut-sebut sebagai film terbaik dari franchise Harry Potter. Itu sebelum muncul Goblet of Fire.

Review:
Goblet dibuka dengan kekacauan di piala dunia Quidditch yang megah (too bad it’s too short). Cerita kemudian berkembang. Mulai dari turnamen Triwizard hingga munculnya “you know who” digulirkan dengan cepat namun masih terasa smooth. Hal yang jarang ada di film hasil adaptasi buku. Namun, dari situ sudah ketahuan bahwa banyak bagian dari bukunya yang dipotong. To me, It’s Ok! Bukunya yang setebal kamus tidak mungkin ditransfer ke pita seluloid selama 3 jam saja. Tapi dijamin, rangkaiannya sangat rapi dan menyenangkan. Ya, ternyata pemilihan Newel sangat tepat. Karena di Goblet banyak adegan romantis, drama dan yang jarang ada di seri sebelumnya, humor.
Di seri keempat ini, Newel juga lebih menekankan studi karakter seperti film-film karyanya yang lain. Dia berhasil ‘menaikkan derajat’ Dumbledore yang biasanya digambarkan malas-malasan, kini semakin lincah. Begitu juga Longbottom yang mendapat porsi lebih disini.
Bicara aspek epik, Goblet harus diakui hampir menyamai level Lord of the Rings. Spesial FX digarap dengan sangat bagus, meski di beberapa scene ada kemiripan dengan LOTR. Mengingat ceritanya yang sama-sama gelap dan 'murung', film ini ternyata lebih berkesan ketimbang Azkaban.

Final Analysist:
Sorry to say, tapi jelas Goblet of Fire adalah seri terbaik dari Harry Potter series. Atau mungkin one of the year's best! Sebuah mixture dari berbagai genre. Drama, komedi, epic, sedikit horor dan yang paling mengagumkan, ini adalah seri keempat dari sebuah franchise. Sebuah hasil diatas rata-rata dari sebuah film adaptasi buku. Salut pada produser David Heyman. Pemilihan sutradara yang cermat membuat franchise ini semakin menarik untuk dinikmati. Cheers!!
My advice: “You want story: Read the books! You need an action: SEE THE MOVIE”

rating: 8 out of 10

- JR -

1 Comments:

At 7:36 PM, Blogger Unknown said...

setuju!
beberapa temen bilang kalo film ini adalah harry potter paling jelek.aku bilang, ini yang paling bagus.ceritanya paling padat.jadi, waktu kluar dari bioskop nggak ngerasa buang duit.

menurutku,sebuah film adaptasi novel jangan terus2an dibandingkan sama novelnya.menurutku lagi,coba dibayangin kalau film tadi muncul tanpa pernah ada novelnya.

pasti banyak yang kagum

nice review

rgrds!

 

Post a Comment

<< Home